RAKYATNUSANTARA.ID, SUMEDANG – Kasus dugaan tindak pidana penggelapan Dana Desa Nagarawangi, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, yang melibatkan mantan Bendahara Desa, Dadan, hingga kini masih menggantung tanpa kejelasan hukum.
Dugaan ini mencuat sejak tahun 2023, dengan nilai penggelapan ditaksir mencapai Rp240 juta, namun belum ada perkembangan signifikan dalam proses penindakannya.
Dadan secara terbuka telah mengakui perbuatannya dan membuat surat pernyataan di hadapan Camat Rancakalong, Kapolsek, serta instansi terkait lainnya.
Dalam surat tersebut, ia berjanji akan mengembalikan dana desa yang telah digelapkannya. Namun, hingga saat ini, janji tersebut tidak pernah dipenuhi, mengakibatkan kerugian keuangan negara yang nyata.
Meskipun telah mengaku, tetapi Dadan masih tetap bebas berkeliaran tanpa ada tindakan hukum yang jelas.
Berdasarkan keterangan BPD setempat, Dadan sempat berupaya menggadaikan sertifikat tanah milik mertuanya untuk mengganti dana desa yang telah ia gelapkan. Namun, rencana ini gagal karena mendapat penolakan dari para ahli waris.
Peran aparat penegak hukum (APH) dalam menindaklanjuti kasus ini patut dipertanyakan. Sebab hingga kini, belum ada langkah konkret yang diambil untuk memproses Dadan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Ketidakjelasan ini menimbulkan kecurigaan seolah APH menutup mata terhadap dugaan penggelapan ini.
Penegakan hukum yang tidak tegas berpotensi mencederai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum.
Kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pihak berwenang agar tidak menjadi preseden buruk bagi pengelolaan dana desa di wilayah lain.
Dugaan penggelapan dana desa ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, disebutkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan hukuman penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu, Pasal 3 menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara dapat dipidana dengan penjara paling lama 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Selain UU Tipikor, pengelolaan dana desa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Berdasarkan aturan tersebut, bendahara desa memiliki tanggung jawab dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana desa secara transparan dan akuntabel.
Penyalahgunaan wewenang dan penggelapan dana desa jelas merupakan pelanggaran serius yang seharusnya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Ketiadaan langkah hukum yang tegas dalam kasus ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa dan aparat hukum.
Jika tindakan penggelapan dana desa tidak ditindak tegas, dikhawatirkan akan semakin banyak kasus serupa yang merugikan keuangan negara dan masyarakat desa.
Oleh karena itu, penting bagi pihak berwenang untuk segera mengambil tindakan hukum yang sesuai guna menegakkan keadilan dan mencegh kejadian serupa di masa depan.(Endi)